5 Ways to Sell Better with Video and Automatic Transcriptions

This post was originally written on the Vocalmatic Blog by Amanda Ward. Visit our blog to learn more about automatic transcription, online businesses, and more! If you work in Sales, you know that it…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Musnahnya Aspiran Idiologis

Pengembangan kader selalu identik dengan peranan manusia intelek, mempunyai kesadaran daya juang yang tinggi dalam mengelolah potensi dan skillnya demi menyelaraskan falsafah kenegaraan “Pancasila”, terdepan mengambil Sikap penuh keberanaian meninggalakan kebutuhan-kebutuhan individual dan mengutamakan kepentingan masyarakat warga (Civil Society) untuk bisa mencukupi militansi Dzikir, Fikir, Amal Shaleh.

Ada Soekarno, ada Bung Tomo, ada Sultan Syahrir, ada Muhammad Yamin, ada Jenderal Soedirman, ada Jenderal Nasution, ada juga Tan Malaka, selaku bagian keterwakilan pemerkasa Bangsa ini dan masih banyak lagi tokoh-tokoh penggagas kemerdekaan negeri dahulu kala.

Ini bukanlah gurauan semata melainkan ketertinggalan dalam prosesi perkembangan pemuda yang tidak pernah melupakan tentang dirinya dengan sang maut bernama globalisasi.

Terlepas dari perintinjau tujuan organisasi, komunitas, perkumpulan beberapa manusia dalam menunjang suatu program terecana guna mencapai apa yang menjadi cita-cita bersama. pengelolaan khusus selama ini lebih menekankan dominasi kepada pemenuhan kebutuhan kader guna memberikan distribusi output setelah lepas dari perguruan tinggi itu menjadi polemik disetiap lembaga Organisasi Ke Pemudaan (OKP) saat ini.

Namun setelah melihat nyelih perkembangan pemuda seakan menemukan titik jenuh setelah terlampau jauh tergilas jaman imprelisme sampai globalisasi, kontemporer atau modern( jaman now). Seiring berjalannya waktu pengkaderan diorganisasi semakin hari semakin kondusif melihat perkembangan dan factor penghambat selama ini merongrong kehidupan didalam internal organisasi maupun ekstra, ekxast maupun ips.

Tidak terlepas dari permasalahan individual kader misalanya; ada beberapa kader yang tinggal di rumah sendiri, keluarga, penjara suci Asrama, kost-kostan yang aturannya melebihi qur,an-hadis, ijma;’ qiyas, uud 45, dan pancasila dan beberapa problem lainnya yang membuat selama ini kader dilematis dalam mengambil langkah, apalagi perguruan tinggi semakin hari semakin memperuncing kebijakan berorientasi pada diri kader prematur. Lantas, masihkah mau menyalahkan para kader-kader tersebut.

Lewat paradigmatisasi yang amat dipersingkat, tindak keakuan, doktrinasi semakin hari justru semakin memperkeruh suasana tidak heran jikalau banyak kader terbunuh dan membunuh karakter yang pernah melekat pada dirinya, Karena fasilitas intelektual-spritual tidak memadai dalam menunjang, memupuk, bakat dan minat yang dimiliki. Itu sebabnya, jumlah kader senantiasa lebih sedikit yang aktif dari pada kebanyakan perekrutan sebelumnya.

Lagi pula tak berkesempatan mencicipi keserakahan politisasi. Stidaknya bisa menaruh hormat pada level kegiatan yang sudah terprogram oleh pengurus organisasi, komonitas, melalui pemikiran yang tidak diragukan lagi, setidaknya. Tak ada yang lebih dominan mengerti arus perkembangan dan kemajuan suatu lembaga OKP, yang ada mayoritas penyuplai simbolistik yang amat subjektif.

Biasa kita jumpai di lingkungan sekitar disebut; hebat memang disana, tapi bangsat disini. Arnesto che Guevara leader revolusi Quba, Tan Malaka Selaku bapak revublik Indonesia, sigonrong Bung Tomo selaku perusuh dimata bala tentara sekutu.

Sekarang keparat pemangku kebijakan tak ubahnya tokoh berjubah imprealisme, anak sulung mapia tingkat dewa, cengkokan loyalitas penghisap darah rakyat.

Menaruh perhatian, tertilas dengan waktu isi kepala lebih di sakralkan daripada pembuasan isi hati, bilamana dihadapkan dengan terjalnya jurang kebijaksanaan orang akan lebih memilih memutar balik atau mengambil jalur pintas, keberanian mengambil langkah tegas sudah menjadi tradisi barang antik tidak boleh di ulurkan dengan begitu saja.

Akibatnya yang timbul konsumerisme mendewakan kenekatan keakuan, lazimnya mengetahui siapa kawan siapa musuh sudah menjadi barang langka, dalam artian sangat sulit menemukan individu idialis.

Menjadi diri sendiri sangatlah sulit dibandingkan dengan menilas waktu melalui menilai individu seseorang. Cangkul, parang, sepatu laras, kaos tangan, tangki manual (Petani), mata pancing, tembaga, perahu sandeq (Nelayan) sudah bagian saksi sejarah pekerjaan kita miliki bahkan mayoritas bagian dari kita bergelut diperadaban itu.

Mengutip perkataan sang maestro “Pahlawan Berpegang pada tali kalbuhnya, bagai tabiat orang badui. Penipu menyimpan cakar-cakar rahasianya yang sukar diduga, tapi terasa bagaikan bisa” (Mahbub Djunaidi). Masihkah memberanikan membusungkan dada didepan para elitis, borjuasi, bangsawan, yang pekerjaan mereka seperti bukan manusia melainkan binatang buas yang selalu siap menerkam mangsanya.

Untuknya mencintai dan dicintai sudah barang keharusan dimiliki setiap individu bernama manusia, terlepas dari pekerjaan didambakan selama ini, sebab, pekerjan esensi bukanlah ingin menjadi Dosen, Guru, Polisi, TNI, Ustadz, Bidan, Manager, Pramugari, Pengusaha, pemerintah. Melainkan, pekerjan yang dilakoni setiap hari itulah hakikat pekerjaan menuju manusia yang sadar akan kediriannya.



Parepare, 13 Agustus 2019

Nur Mubarak

Add a comment

Related posts:

O Fabuloso Aforismo que Nunca Existiu

isso me faz pensar em minhas mãos infantis, segurando o telefone engordurado, meus dedos pequenos e infantis, Infantis como os farelos do bolo de cenoura sobre o pano de prato na casa da sua avó…

SEX

In this sex crazed world, it is especially hard to find someone who isn’t sexually active. But have you thought maybe potentially your sex life (outside of marriage) may be lowering your self esteem…

Hate Speech

There is a fine line between hate speech and free speech in America. The US Supreme Court ruled that hate speech is “legally protected free speech under the first amendment, except where such speech…