Urban areas of Rajasthan India

Investigate the rich legacy of Rajasthan in glorious royal residences, posts and chateaus worked to honor some occasion or an individual. Each city of the state has part to offer the traveler which…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




This Is How I Love My Self

Beberapa bulan belakangan, kampanye mencintai diri, sedang ramai sekali dibicarakan. Orang-orang sedang saling berusaha mencari cara untuk mencintai dirinya sendiri. Salah satu sebabnya, karena masifnya penggunaan media sosial membuat kita terus menerus melihat apa yang ada pada diri orang lain sampai lupa melihat apa yang ada pada diri kita. Senyum yang berkali-kali terlintas di feeds Instagram, cerita sukses di Twitter, dan banyak lainnya. Kadang Lelah. Tapi, lucunya kita masih saja betah. Menjadikan media sosial sebagai jalur pembuktian diri. Terus menerus update untuk membuktikan bahwa diri kita tidak kalah hebat dari yang lain. Memberi santapan lezat bagi ego. Bukankah sebetulnya kita selalu menyadari itu? Bukankah dari awal kita sudah paham cara kerjanya? Tapi kenapa, ya? Kok masih saja betah dengan cara pikir kita yang insecure dengan bahagia yang dimiliki orang lain?

Saya pribadi, jarang sekali insecure dengan fisik yang saya miliki. Tolong jangan salah paham. Saya sedang tidak bicara tentang perbandingan terhadap orang lain. Saya tidak sedang bicara tentang seperti apa sih rupa wajah saya? Seberapa cantik saya? Atau, seberapa gendut saya? Tidak. Karena pada kenyataannya perasaan tidak aman bahkan bisa dirasakan laki-laki ter-ganteng dan wanita ter-kaya sekalipun. Kalau saya, biasanya perasaan tidak aman itu muncul ketika dalam majelis-majelis ilmu, saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang ada, atau saya tidak bisa mengikuti materi dengan baik. Yang ada di pikiran saya ketika perasaan insecure muncul itu seperti, “Waduh udah umur segini ilmu gue masih cetek banget”, atau “Dari kemarin gue ngabisin waktu buat apa, sih? Kok buku ini aja belom dibaca?” atau “Kok gue baru denger ya tentang ini?” Ya, memang setiap orang mengalami berbagai insecurities yang berbeda-beda. Ada yang merasa tidak aman karena fisiknya, ada yang karena ilmunya, ada yang karena pekerjaannya, etc.

Hhh. Mari tarik napas dalam-dalam.

Saya mau coba tuangkan suatu kerangka berpikir yang sudah saya pikirkan sejak lama. Tentu ini sebatas argumen pribadi dan tidak melalui tahapan-tahapan penelitian yang kompleks. Saya hanya merumuskannya dari perenungan-perenungan lama di kamar mandi, atau dari diskusi ringan bersama Ayah dan Ibu di sore hari, atau juga dari artikel-artikel ilmiah yang ketika membacanya, saya merasa keren. Hehehe.

Perasaan tidak aman, atau yang biasa kita sebut dengan Insecurities adalah suatu hal yang ternyata merupakan sifat alamiah manusia. Perasaan itu tidak hanya muncul dari perbandingan-perbandingan yang belakangan banyak kita lakukan. Tapi, insecurities merupakan fitrah atau bakat alami yang semestinya kita miliki. Buktinya, ketika bayi terlahir ke dunia, justru yang diharapkan adalah tangisannya: tanda bahwa ia bisa menyadari ada suatu kondisi ‘aneh’ yang terjadi. Ya, kondisi aneh itu adalah perubahan lingkungan dari rahim yang hangat, sunyi, dan nyaman, menjadi dunia luar yang dingin dan dianggap aneh bagi si bayi. Sehingga, bisa dikatakan insecurities adalah bakat pertama kita di dunia. Sementara selama ini kita berusaha menghentikan insecurities yang ternyata malah menjadi bukti pertama bahwa kita ‘hidup’. Dan seiring bertumbuhnya diri, bayi yang tadinya less information dan powerless menjadi kita yang well-informed dan powerful. Tapi, mengapa insecurities malah semakin menjadi-jadi, ya?

Menjadi diri sendiri harus didasari pada kesadaran penuh. Kesadaran bahwa kita adalah ‘seseorang’ yang memiliki values atas apapun yang ada dalam diri kita. Menyadari bahwa ruh, jasad, dan akal kita adalah suatu pemberian yang memiliki nilai manfaat dan nilai penting. Menyadari bahwa segala hal yang ada dalam diri kita berada dalam kendali kita dan pencipta. Ketika kita sudah menyadari bahwa apa yang ada dalam diri kita ada dalam kendali kita, dan hal-hal di luar diri kita tidak berada dalam kendali kita, maka kita akan mulai fokus pada apa yang dapat kita benahi, dalam hal ini adalah diri kita. Contoh mudahnya adalah ketika kita merasa fisik kita terlalu gemuk hingga mengganggu aktivitas kita, maka satu-satunya yang harus dilakukan adalah membuat fisik kita menjadi kembali bugar, atas nama diri sendiri. Artinya kita melakukan itu untuk menjaga kesehatan diri. bukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain. Hal ini memang hampir nihil. Bahkan dalam teori Hierarchy of needs, Abraham Maslow saja, Self esteem termasuk dalam lima kebutuhan dasar kita sebagai manusia. Namun, lagi-lagi yang dapat saya tekankan adalah bahwa pengakuan orang lain adalah suatu hal di luar diri kita. Suatu hal yang tidak akan bisa kita kendalikan. Maka cukup sadari sepenuhnya bahwa dengan menjaga pola makan, berolahraga, dan melakukan usaha-usaha lainnya untuk menjaga kesehatan adalah bagian dari mencintai diri dan membuat kita merasa lebih berharga (karena berhasil menjaga diri sendiri sebaik-baiknya bukan karena berhasil memenuhi standar kecantikan yang ada). Sadari sepenuhnya cara kita memandang diri kita. Sebab,

Cara kita berbicara terhadap diri sangat mempengaruhi kita dalam memberikan nilai terhadap diri. Ketika kita bisa menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah makhluk yang ber ‘nilai’ maka kita akan pahami bahwa yang bisa menemberi ‘nilai’ itu adalah diri kita sendiri. Bukan penilaian orang lain dan bukan pula perbandingan yang kita lakukan terhadap mereka.

Di zaman ini, di mana penyebaran informasi sangat amat cepat, kita dengan mudahnya menerima segala bentuk informasi dari layar handphone. Coba kita ingat-ingat kebiasaan diri kita. Apa yang kita lakukan saat bangun tidur? Apakah merenungi diri? Membaca berita? Atau justru menghabiskan waktu berjam-jam scrolling Instagram dan media sosial lain demi melihat ‘kabar’ orang lain? Jika kebiasaan kita adalah yang terakhir, rasanya wajar saja jika kita terus merasa insecure. Pernahkan kita secara sepenuhnya sadar bahwa ‘saya adalah saya’? apa yang saya miliki? Dimana letak peluang saya? menilai diri tanpa melakukan perbandingan dengan orang lain?

Banyak dari kita yang sibuk memikirkan orang lain dan menjadi lupa akan diri sendiri. Bukan hanya pada kelebihan, tetapi juga pada kekurangan diri. Sibuk dengan perbandingan-perbandingan yang dilakukan sehingga akhirnya hanya stuck berhenti pada perasaan insecure tanpa berbuat apa-apa. Kesal mengapa diri kita begini dan diri mereka begitu. Tidak berusaha untuk berbenah dan terjebak dalam keluhan-keluhan yang tak akan selesai. Berjam-jam menghabiskan waktu untuk stalking public figure dengan rumah mewah dan kehidupan glamournya, tanpa benar-benar menghasilkan solusi. Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Ada satu tantangan yang pernah saya lakukan terhadap diri sendiri. Tantangannya sederhana sekali. Saya berjanji pada diri sendiri untuk memulai hari dengan memberikan input pada tiga elemen dalam diri: Ruh, Akal dan Jasad. Maka itulah yang rutin saya lakukan ketika bangun tidur, selama satu bulan. Elemen pertama adalah ruh. Sama seperti jasad, ruh membutuhkan asupan berupa hal-hal yang memicu ketenangan jiwa. Pada diri, saya melakukan Ibadah pagi sebagai seorang Muslim yaitu Sholat Shubuh, Dzikr pagi, dan membaca beberapa lembar Qur’an. Pada beberapa kesempatan, saya juga menambahkan amalan-amalan sunnah sebagai bonus untuk ruh saya.

Elemen kedua adalah Akal. Saya memulai hari dengan memberi asupan pada akal saya agar memiliki sedikit tambahan pengetahuan, sehingga saya merasa diri saya hari ini ‘lebih paham’ dari diri saya yang kemarin sehingga memicu energi positif. Biasanya saya sekedar membaca artikel atau jurnal ilmiah ringan di berbagai platform atau membaca berita dunia kemudian memberikan tanggapan ringan dalam hati. Terdengarnya memang ribet, tapi jujur saya sendiri lebih suka pilih bacaan yang ringan dan tidak bikin pusing. Opsi lain adalah saya menonton beberapa kajian keilmuan baik mengenai agama, filosofi, lifestyle , self improvement, etc.

Elemen ketiga adalah jasad. Saya challenge diri saya untuk rutin melakukan workout atau sekadar stretch ringan at least selama 20 menit setiap pagi. Hal ini ternyata tidak berpengaruh di penurunan berat badan sama sekali! Hahaha, tapi setidaknya saya jadi memulai pagi dengan ‘game face’.

Walau sebetulnya juga, banyak hari yang tidak berjalan terlalu mulus dan di luar dugaan. Tapi, inilah kejutan hidup yang gaakan bisa saya hindari, kan? Setidaknya Langkah-langkah kecil untuk memulai hari tadi sangat amat membantu membuat saya lebih mengenal dan menghargai diri saya tanpa perlu membandingkannya dengan orang lain.

Begitulah cara saya mencintai diri saya. Dengan sepenuhnya sadar bahwa saya memiliki nilai, tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. Dengan berusaha memperbaiki diri, bukan mencaci diri. Dengan berbuat hal-hal baik pada diri dan orang lain. Dengan memulai.

Add a comment

Related posts:

SOCIAL MEDIA OPTIMIZATION SERVICES

social media marketing optimization (SMO) may be the procedure for increasing the comprehension of a product/services, event, or brand using lots of social networking communities and channels to…

World Champion Jawad praises International Stars Sugden and Broome

Jawad was refereeing at the British Para Powerlifting Championships in Coventry and had the best seat in the house as Sugden and Broome both broke British records at the Ricoh Arena. Sugden hit a…

Best Mac VPN for Netflix

There are hundreds of VPN services overall. However, when we come to choose the best Mac VPN for Netflix, we are left with very few choices. We actually need to spot the VPNs that at first must be…