The Myth of Authenticity

One of the biggest stumbling blocks for my clients as they step more and more fully into their authentic selves is figuring out what is actually authentic for them. I often hear them say things like…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Pemakna Kata

(Cerita pembuka dalam memoar Putih Abu-Abu — terbitan Adakata eBook Publisher)

Aku dan Sebuah Cerita, begitulah yang tertulis di sampul buku itu. Saya ingat, buku itu adalah tempatku menuliskan peristiwa-peristiwa yang kualami semasa SMA. Saya mulai menulisnya sejak kelas 2 SMA dan ceritanya berakhir di hari pengumuman kelulusan, tujuh tahun yang lalu. Entah mengapa, saat itu saya berpikir bahwa tulisanku akan sangat berguna nantinya.

Kubuka buku itu dengan berlahan. Sebuah perasaan aneh tetiba menyerangku. Saya seperti sedang menemukan sebuah manuskrip kuno yang berisi catatan sejarah yang sangat berharga.

Saya tidak membacanya secara detil. Saya hanya membukanya halaman demi halaman. Saya sedang mencari judul tulisan yang menarik perhatian hingga sampailah saya pada sebuah halaman yang berjudul Konsep RnC. Di halaman itu tertulis:

Kekata yang pernah dikirim oleh Fajar — salah seorang sahabat sejak masa putih abu-abu — beberapa bulan setelah pengumuman kelulusan. Saat itu sedang tren saling mengirim kekata mutiara lewat pesan singkat (SMS). Terkadang, ketika seseorang mendapatkan kiriman maka ia akan meneruskannya ke orang lain. Sulit dilacak siapa yang menjadi sumber pertama kekata itu.

“Aku akan mengikat kamu erat-erat.” Saya tertarik dengan kalimat ini.

Saya paham bahwa kalimat itu berisi kiasan. Namun, apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulis dengan kata mengikat?

Kututup buku itu lalu kuletakkan di atas tumpukan buku yang lain. Kukeluarkan laptop dari ranselku. Kuletakkan di lantai lalu kuhidupkan. Di laptopku terdapat softcopy KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Saya segera membuka KBBI dengan menggunakan Xreader — sebuah aplikasi pembaca berkas PDF di Linux Mint. Kutekan CTRL + F lalu kuketikkan kata mengikat.

Dalam KBBI, setidaknya terdapat lima arti untuk kata mengikat. Pertama, mengikat berarti mengebat atau mengerat — menyatukan dsb — dengan tali. Kedua, mengikat berarti menarik atau menawan (contoh: cerita itu mengikat hati). Ketiga, mengikat berarti sesuatu yang harus ditepati (contoh: perjanjian itu mengikat kedua belah pihak). Keempat, mengikat berarti mengarang (syair, sanjak, dsb). Kelima, mengikat berarti menggabungkan (contoh: mengikat diri dalam perkumpulan).

KBBI tidak berhasil membantu dalam menjelaskan makna kata mengikat yang ada dalam baris keempat kekata itu. Tidak satu pun definisi yang disajikan oleh KBBI yang dapat digunakan dalam menafsirkan.

Kubaringkan tubuh ini di lantai. Kuanyam jemari lalu kujadikan bantal untuk menyanggah kepalaku. Kuarahkan pandangan ke langit-langit kamar.

Sepertinya saya harus mengartikan kata mengikat dengan menjaga keutuhan hubungan — dalam hal ini hubungan persahabatan. Sebuah pemberian arti yang berbeda dengan KBBI.

Aku akan mengikat kamu erat-erat, karena kamu terlalu berharga untuk dilepaskan. Saya akan menjaga — dengan segenap daya dan upaya — keutuhan persahabatanku denganmu, karena kamu….

Bagaimana mengartikan kata berharga dalam hal ini?

Saya memahami maknanya tapi tidak mampu menjelaskannya dalam bahasa yang sederhana. Einstein pernah berkata, “Jika kamu tidak dapat menjelaskannya sesederhana mungkin berarti kamu belum memahaminya dengan baik.”

Ya, sepertinya memang demikian. Saya tidak memahaminya dengan baik. Saya segera bangkit dan duduk di depan laptop. Saya mencari arti dari kata berharga dengan menggunakan KBBI.

Lagi-lagi, KBBI tidak dapat membantu. KBBI hanya menyediakan tiga arti dari kata berharga. Pertama, berharga berarti mempunyai harga atau harganya (contoh: Barang langka seperti itu berharga jutaan di pasaran). Kedua, berharga berarti berguna atau bermanfaat (contoh: Beliau menyampaikan kekata motivasi yang sangat berharga). Ketiga, berharga berarti mahal (contoh: Dia memiliki banyak barang-barang berharga).

“Kamus tidak selalu dapat diandalkan dalam memahami suatu karya sastra. Bahasa itu dinamis sehingga sebuah kata dapat saja memiliki makna baru yang tidak tertera di kamus,” kata seorang teman beberapa waktu yang lalu. Sepertinya dia benar kali ini atau saya yang terlalu kaku dalam memahami penjelasan yang disajikan oleh kamus. Mungkin saya bisa memahami kata berharga lebih baik dengan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar.

“Kapan sesuatu disebut berharga?”

Sesuatu disebut berharga ketika sesuatu itu sulit untuk diperoleh. Semakin sulit diperoleh maka semakin berhargalah sesuatu itu. Jawaban ini yang tetiba muncul di pikiranku.

Intan lebih berharga dari batu kali karena sulitnya diperoleh. Hanya sedikit tempat di dunia yang menyediakan intan. Kalau pun kita menemukan tempat itu, kita tidak bisa mengambilnya semudah memetik buah apel dari pohonnya. Butuh keahlian dan peralatan.

Kalau intan dapat diperoleh dengan mudahnya — semudah memperoleh pasir ketika kita berada di Arab Saudi — saya yakin kalau intan tidak akan sama berharganya dengan sekarang.

Saya mengambil buku yang tadi kuletakkan di atas tumpukan buku. Saya kembali membukanya dan mencari kata-kata tadi.

“Karena kamu terlalu berharga untuk dilepaskan,” kubaca kembali kalimat itu.

Apakah sahabat itu berharga? Ya, itulah yang terpikir di kepalaku. Saya bisa dengan mudahnya mengatakan, “ya.” Mengapa?

“Mengapa saya mengatakan ‘ya’?”

“Karena saya menganggap sahabat itu berharga.”

“Mengapa saya menganggap sahabat itu berharga?”

Menjawab pertanyaan yang mengandung kata tanya mengapa selalu saja lebih sulit dari pada yang mengandung kata tanya lain. Kata tanya mengapa mempertanyakan alasan. Alasan yang logis dan mendasar.

“Mengapa sahabat itu berharga? Apa karena sahabat itu sulit diperoleh?”

Ya, bukankah sahabat itu memang sulit diperoleh? Mungkin banyak orang yang mau menjadi teman kita, tapi tidak banyak orang yang mau menjadi sahabat kita.

Seorang lelaki bisa saja mendatangi — dalam arti yang sebenarnya, bukan kiasan — seorang perempuan lalu mengatakan padanya, “Maukah kamu menjadi pacarku?”

Namun, seseorang tidak bisa seenaknya saja mengatakan kepada orang lain, “Maukah kamu menjadi sahabatku?”

Seseorang acapkali menganggap sebagai teman terhadap orang-orang yang satu kampus dengannya, satu kantor dengannya, atau orang-orang yang ia kenal. Namun, ia tidak bisa seenaknya saja mengklaim mereka sebagai sahabat.

Dengan mudahnya kita dapat menemukan orang yang memiliki puluhan teman di lingkungan atau di media sosial. Namun, akan sangat susah menemukan orang yang memiliki puluhan sahabat.

Tetiba saja saya teringat dengan perkataan Khalifah ke-IV Imam Ali bin Abi Thalib RA. Beliau pernah ditanya, “Berapakah jumlah sahabatmu?”

Beliau menjawab, “Tunggulah hingga musibah datang menimpaku maka aku akan dapat menghitung jumlah mereka.”

Di saat-saat yang membahagiakan dalam hidup ini, akan banyak orang yang menemani kita menikmati kebahagiaan itu. Namun, di saat-saat yang menyedihkan dalam hidup ini, orang-orang itu akan menjauh satu per satu hingga yang tertinggal adalah sahabat. Tidak semua orang mau menemani kita menikmati kesedihan, kemelaratan, kesialan, kegagalan, dan segala hal yang tidak mengenakkan di dunia yang fana ini.

Sahabat itu aneh. Kita bisa saja membiarkannya mengetahui kekurangan kita tanpa harus takut akan kehilangan. Ketika teman memberitahu kelebihan-kelebihan kita — walau terkadang tidak realistis — sahabat malah menujukkan kekurangan-kekurangan yang kita miliki.

Manusia terkadang memuja diri hingga berlebihan dalam menilai diri. Manusia membutuhkan mata sahabatnya untuk menjadi cermin baginya. Manusia dapat mengetahui kelebihan dan kekurangannya melalui mata sahabatnya.

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman yang sudah beristri pernah berkata, “Jika kamu ingin mengenal seorang gadis dengan lebih baik maka nikahilah dia atau jadilah sahabatnya, bukan menjadi pacarnya!”

“Apa yang mendasari kamu menyimpulkan seperti itu?” tanyaku.

“Ada dua hal yang menuntunku menyimpulkan hal itu. Pertama, seseorang tidak mungkin terus-menerus ber-acting di depan suami atau istrinya. Di bawah atap rumah tangga, keburukan-keburukan pasangan akan mulai terlihat. Keburukan yang selalu ia sembunyikan sewaktu pacaran. Tidakkah kamu lihat bahwa banyak orang yang memutuskan untuk bercerai ketika menyadari bahwa pasangannya tidak seperti yang ia kenal sewaktu pacaran? Kedua, seseorang lebih jujur kepada sahabatnya dibandingkan kepada pacarnya. Boleh jadi, ada orang di luar sana yang tidak memenuhi pernyataan-pernyataan ini. Namun, perhitungan dengan kaidah statistik akan menunjukkan bahwa jumlah mereka relatif kecil sehingga bisa diabaikan.”

“Ya, mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi tidak mengajarkan kita berpacaran,” kataku sambil menahan tawa.

Aduh, sepertinya saya sudah terlalu melebar kemana-mana dalam membahas kata berharga. Kutatap kembali buku itu.

“Aku akan mengikat kamu erat-erat, karena kamu terlalu berharga untuk dilepaskan.” untuk kesekian kalinya kubaca kalimat ini.

Saya akan menjaga — dengan segenap daya dan upaya — keutuhan persahabatanku denganmu, karena saya tidak yakin kalau ada orang di luar sana yang pantas menggantikan kamu sebagai sahabatku. Kalau pun ada yang pantas, belum tentu dia mau. Kalau pun ada yang mau, belum tentu saya mau bersahabat dengannya.

Waktu terus berlalu dan tetiba saja saya menyadari bahwa kamu telah menjadi sahabatku selama ini. Arus waktu telah menuntun kita mendekat ke akhir cerita. Tibalah saatnya kita berada di persimpangan jalan. Dan, kita memilih jalan yang berbeda dalam menempuh hidup. Banyak hal yang menunggu untuk dijelajahi dalam hidup ini. Dan kita tidak selalu sependapat jalan mana yang akan dilewati. Kuberharap, jalanku dan jalanmu menuju ke titik yang sama di persinggahan cerita. Dan suatu saat nanti, di suatu tempat di masa depan, kita akan berbagi cerita sebelum melanjutkan perjalanan. Melanjutkan perjalanan dalam rangka mengukir kisah yang baru. Akan kuukir kisah ini dalam sebuah buku. Supaya kelak ketika kita bertemu lagi, kamu ingat bahwa kita pernah berada dalam cerita yang sama.[ ]

Add a comment

Related posts:

Turn off your ads for Black Friday

This article is going to serve as a short PSA type of message, rather than our usual long-form how-to articles. As you know, Black Friday is quickly approaching and the internet is about to explode…

Aditus Token Sale is complete

We are pleased to announce that with the support of our contributors, we’ve raised a total of USD$7.1 million. We thank all token sale participants for the trust in the vision and team to bring the…

The United States of America Is Decadent and Depraved

In The History of the Decline and Fall of The Roman Empire, Edward Gibbon luridly evokes the Rome of 408 A.D., when the armies of the Goths prepared to descend upon the city. The marks of imperial…